
jbkderry.com – Artikel ini bermula dari melihat feed IG pesohor Ernest Prakasa tentang kampain dua mobil listrik baru di Indonesia; IONIQ Electric dan Kona Electric, pada Jumat pagi 6 November 2020.
Menarik kemudian karena harga kedua mobil listrik dari Hyundai yang diumumkan pada sorenya di hari yang sama, bisa disebut lumayan mengejutkan. Hyundai IONIQ yang dihadirkan dalam dua tipe/varian, yaitu tipe Prime harganya Rp 624,8 juta dan tipe Signature Rp 664,8 juta.
Sedang Kona yang sempat beredar informasi harganya akan di bawah IONIQ, justru ada di atasnya dengan harga Rp 674,8 juta.
Wow, di atas Rp 600 juta, padahal di awal tahun 2020 ini, sudah cukup banyak media massa nasional dan media para K.O.L yang memberitakan harga IONIQ Electric ada di harga Rp 569 juta off-the road di Indonesia. Kok bisa-bisa tiba-tiba melambung Rp 50an juta hingga nyaris Rp 100 juta per unit?
Media massa dan K.O.L kondang tentu berkecenderungan tidak akan mengulas hal ini, tapi di benak potensial konsumennya tentu akan bertanya-tanya, “Ada apa?”
Bukankah di akhir tahun lalu, Gubernur DKI Jakarta telah mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor 3 Tahun 2020, yang kabarnya memuat di antaranya kebijakan penghapusan biaya BBN untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterei?
Sebenarnya sah-sah saja produsen mau taruh banderol harga berapa pun di produknya, tapi angka di atas Rp 600 juta per unit tentu sudah di atas kemampuan daya beli secara umum masyarakat otomotif di Indonesia. Lantas bagaimana melihatnya?
Wacaca alih-alih teknologi terbarukan tentu bisa jadi tameng marketingnya, tapi lagi-lagi siapa yang bisa membeli di harga segitu?
Kecuali perwakilan prinsipal Hyundai di Indonesia berbicara target jangka panjang dan edukasi konsumen dari mulai pasar ceruk, maka tidak ada yang krusial untuk diperdebatkan sementara ini, dan artikel kelas secangkir kopi ini sudah seyogyanya disudahi.
TAPI…
Jika berbicara keinginan untuk menggelembungkan volume penjualan, agar dapat mempercepat proses ROI (return on investment) alias balik modal dari nilai investasi Hyundai yang kabarnya telah menembus angka Rp 21 triliun di Indonesia, maka ada beberapa poin tantangan yang dapat dikatakan tidak mudah.
Yuk, dibahas dari perspektif kelas secangkir kopi:
1. Perang Harga di angka Rp 600 Jutaan
Sudut pandang pelaku industri dan media massa bisa jadi berbeda dari sudut pandang konsumen secara umum.
Pertanyaan klasik, “Dengan (Rp) 600 juta, gw (atau saya) dapat apa?”
Dengan harga Rp 400an juta hingga Rp 500an juta, ada rival yang secara umum akan tentu diperbandingkan, pilihannya ada Mitsubishi Pajero Sport, Honda C-RV, Toyota C-HR Hybrid, Toyota Corolla Cross Hybrid, dan Mazda CX-8.
Helo, nama-nama itu kan bukan model kendaraan pure listrik yang menggunakan sumber baterei seperti Ionic Electric dan Kona Electric? Iya, bener, tapi itulah salah satu tugas berat yang menanti para wiraniaga Hyundai untuk menjelaskan ke potensial atau target konsumennya.
2. Menanti Harga Nissan Leaf
Nissan di Indonesia juga bisa jadi pelajaran berharga buat Hyundai. Di tahun 2011, Nissan dikabarkan telah menanamkan investasi sebesar US$ 312,5 juta di Indonesia (silakan kalikan sendiri dengan nilai kurs yang berlaku), termasuk untuk pembangunan pabrik produksi mobil murah dan ramah lingkungan.
Dan sembilan tahun kemudian di tahun 2020, Nissan telah mengumumkan menghentikan produksinya di Indonesia. Padahal Nissan notabene adalah merek asal Jepang yang secara umum di masyarakat Indonesia lebih populer.
Nah, setelah babak belur di pasar otomotif di Indonesia, di tahun 2020 ini, Nissan mengambil langkah yang mirip dengan Hyundai, yaitu fokus di pemasaran mobil listrik. Beberapa bulan lalu, Nissan telah sukses memasarkan model kendaraan hybrid dengan nama Kick e-Power yang memiliki harga terendah di pasar mobil berteknologi listrik sejauh ini di Indonesia.
Jika nanti harga Leaf ternyata bisa bermain di rentang harga Rp 500an juta per unit di Indonesia, Hyundai tentu mesti punya strategi lebih jitu buat meyakinkan target konsumen yang dituju, mengingat di benak masyarakat umum orang Indonesia, merek Jepang tentu lebih populer dan lebih dipercaya.
3. Mau ke mana Hyundai di Indonesia?
Saat artikel ini dibuat, informasi mengenai kunjungan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan ke Pabrik Mobil Listrik Hyundai di Bekasi pada Jumat 6 November 2020, dikabarkan oleh beberapa media massa terkemuka, pabrik Hyundai di kawasan tersebut akan mulai beroperasi pada akhir 2021 atau awal 2022.
Patut dinanti, bagaimana strategi Hyundai untuk merebut hati konsumen di Indonesia, di tengah kuatnya pilihan masyarakat pada merek-merek Jepang seperti Toyota, Mitsubishi, Honda, Suzuki, dan Daihatsu.
Pakem ini sejauh ini belum goyah, nama Wuling yang sempat beberapa waktu lalu dikabarkan cukup kuat berebut atensi publik, terbukti pada September 2020 sudah terlempar dari daftar 20 mobil terlaris di Indonesia.
Patut diingat dalam waktu 10 – 11 tahun terakhir pendapatan per kapita masyakarakat Indonesia stagnan di kisaran US$3.000an, meski di tahun 2020 ini disebut sudah tembus di angka US$4.050. Atau dengan kata lain, daya atau kemampuan membeli mobil baru selama 10 – 11 tahun terakhir masih di kisaran umum di bawah Rp 300 jutaan.
Apakah nanti Hyundai melalui fasilitas pabriknya di Bekasi akan coba beradu peruntungan di ceruk itu (direntang harga di bawah Rp 300 juta per unit)? Patut dinanti, misalnya menghadirkan rival buat Avanza atau Xpander, atau justru buat rival Calya dan Brio…
Sebagai penutup narasi kelas secangkir kopi kali ini, ada pula satu catatan khusus mengenai “tanggalnya” salah satu nilai kelebihan Hyundai yang digadang-gadang selama ini.
Konsep desain Fluidic Sculpture yang digagas Peter Schreyer dan kini telah pensiun, telah diubah drastis oleh SangYup Lee dengan konsep desain Sensuous Sportiness dan filosofi “bidak catur”.
Ini sih tentu soal selera, tapi buat jbkderry.com, konsep desain Fluidic Sculpture lebih enak dilihat dan berkelas ketimbang Sensuous Sportiness.
Kalau menurut Anda, bagaimana?
One Reply to “NGOBROLIN HYUNDAI DI INDONESIA (SEKALI LAGI) KE DEPAN MAU KEMANA?”