
jbkderry.com – Pekan lalu di tanggal 22 September 2020, seorang kawan baik membagi link dari sebuah media mainstream mengenai wacana penghapusan beberapa skema pajak untuk penjualan mobil baru.
Tidak perlu membaca artikelnya, rasanya pengelola media kelas secangkir kopi sudah paham arah dari wacana tersebut, terutama karena anjloknya pasar mobil baru di tahun 2020 yang turun tajam hingga di atas 90 persen.
Tentu dibutuhkan stimulan kebijakan dari pemerintah, agar pasar dapat kembali rebound atau setidak-tidaknya berangsur baik. Dan untuk hal ini yang paling terkait tentu di Departemen Perindustrian yang membawahi bidang kerja untuk industri otomotif di Indonesia.
Namun seberapa efektifkah? Ketika mendapat informasi link artikel itu, respon pertama dari pengelola media kelas secangkir kopi ini adalah, “Boleh juga sih wacana insentif ini diberikan buat menstimulasi pasar, persoalannya apakah sejalan dengan interest masyarakat yang masih berdaya beli, ini yang jadi salah satu tantangan utama.”
Ya, bukan apa-apa, tekanan disrupsi, kemudian badai pagebluk, serta ancaman resesi jelas menjadi tiga variabel determinan bagi para potensial konsumen di market otomotif untuk membelanjakan dananya.
Seorang kawan baik yang pernah menduduki posisi nomor satu dari sebuah brand otomotif asal Eropa sempat mengemukakan beberapa pekan lalu, “Pihak yang terpukul karena pagebluk ini bukan hanya kalangan menengah ke bawah. Ada seorang kawan saya yang termasuklah dalam orang kaya di negeri ini, dalam periode April – Juni 2020 saja sudah harus nombok Rp 15 miliar untuk gaji ribuan pegawainya, dan prediksinya hingga akhir tahun dia memprediksi harus siap-siap mengeluarkan budget rugi Rp 50 miliar untuk skema gaji sekitar 4.000an pegawainya, padahal pemasukan tidak ada dan juga sudah mem-PHK sekitar 1.000 pegawai.”
Dari pertanyaan seorang kawan baik itu, juga bisa ditarik kesimpulan kelas secangkir kopi, jika wacana insentif dari Kementerian Perindustrian itu bisa lolos sebagai kebijakan utuh, rasanya tidak akan berdampak besar pada situasi pasar penjualan mobil baru.
Asumsi pertama, daya beli potensial konsumen di bawah Rp 250 juta, atau katakanlah maksimal di bawah Rp 300 juta per unit, dan menjadi lumbung utama lebih dari volume penjualan mobil baru di Indonesia selama ini. Setidaknya 50 – 60 persen volume pasar mobil baru di Indonesia adalah mobil dengan harga jual di bawah Rp 250 juta.
Nah, di bawah tekanan disrupsi, badai pagebluk Covid-19 yang telah menyebabkan banyak PHK dan pemotongan pendapatan, serta ancama resesi tentu sangat berdampak pada kalangan konsumen ini.
Jadi kalaupun harga mobil baru nantinya bisa bebas potongan beberapa rangkaian pajak dan (katanya) bisa mereduksi harga mobil jadi turun 30-40 persen, rasanya tidak terlalu cukup kuat untuk mestimulasi minat beli di kalangan tersebut.
Sederhananya, budget mereka tentu lebih diprioritaskan untuk kebutuhan yang lebih utama seperti untuk kebutuhan primer di rumah dan sekolah anak-anak.
Bagaimana dengan kalangan menengah ke atas? Seorang kawan baik yang duduk di manajemen sebuah perusahaan distribusi otomotif mengatakan, “Praktis hanya pembeli Mercedes-Benz dan BMW yang bisa dikatakan tetap sepanjang semester pertama dan memasuki semester kedua tahun ini,” katanya.
Dan dari penelusuran di jagat maya, itupun secara volume tentu tidak besar. Sepanjang semester pertama 2020, BMW membukukan angka penjualan 800an unit, dan Mercedes-Benz mengekor di angka 700an unit.
Di sisi lain menurut kawan itu, wacana kebijakan memangkas skema pajak ini meski terkesan baik untuk stimulasi industri otomotif penjualan mobil baru, namun dalam lanskap yang lebih luas malah bisa menciptakan prahara dan masalah yang lebih besar.
“Bayangkan saja dampaknya pada pasar mobil bekas, yang tanpa wacana kebijakan ini saja sudah berdarah-darah kondisinya. Belum lagi bagi para pemilik mobil harus menerima nasib jika harga jual mobil sekennya makin hancur. Juga jangan lupakan dampaknya bagi perusahaan leasing, dimana konsumen sangat mungkin tidak melanjutkan cicilannya, menjual mobilnya dan kemudian membeli yang lebih baru. Kan, logikanya mending beli yang lebih baru ketimbang lanjutkan cicilan mobil yang lebih lama dan lebih mahal,” imbuhnya.
Nah, wacana ini sendiri belum kabarnya belum mendapat respon dari Kementerian Keuangan.
Kalau menurut kalian bagaimana, mending ada disahkan ini wacana kebijakan atau mendingan jangan malah?
Lah iya juga ya, baru kefikiran soal leasing. Buat yg masukin DP 10 juta & cicilan 2,5-3jutaan jalan setahun.. Bisa aja ya gak lanjut cicilan, bisa ambil baru lagi.
Hehehehe.. Ya emang sih Ada BI Checking, tapi kan bisa pakai nama orang. 😄