MERAPAL JALAN PUNCAK BOGOR DENGAN RITME SPEED TOURING

Sekadar catatan akhir pekan kelas secangkir kopi

jbkderry.com – Rasanya sudah lama nian tidak lagi membetot handel gas motor, memacu adrenalin, menguji keberanian sekali lagi, merasakan jika kita adalah mahluk yang senantiasa muda tanpa bayangan dan asumsi jeruji usia yang kerap membelenggu kebebasan untuk tetap merdeka.

9 September 2020, rasanya mesti menjadi salah satu catatan istimewa, setidaknya sebagai penyuka touring bermotor sejak masa putih abu-abu.

Hari itu, saya berhasil mewujudkan sebuah keinginan untuk dapat touring dengan seorang kawan baik. Memang tidak jauh, hanya ke kawasan Cipanas – Puncak Bogor, namun meski rutenya pendek, adrenalin touring-nya tetap dapat.

Terakhir kali aku betot handel gas motor mungkin sekitar sembilan tahun silam di tahun 2011, jadi sudah cukup lama.

Kenapa Istimewa?

Di hari pertama tahun 2016, saya pernah menulis di sebuah situs bernama Motorinanews, tentang perjalanan seorang kawan baik di momen pergantian tahun 2015 ke 2016, Paulus B Suranto yang berkeliling solo rider menggunakan Triumph Tiger Explorer 1215cc di negeri Kangguru, Australia.

Ada momen yang saya sukai dari perjalanan solo touring kawan baik tersebut, ketika melintasi Great Ocean Road yang jaraknya sekitar satu jam perjalanan dari kota Melbourne.

Rute satu ini memang disukai banyak pengendara sepeda motor, karena merupakan jalanan legendaris sepanjang 250 km yang dibangun antara tahun 1919 dan 1932 sebagai simbol peringatan pada prajurit yang tewas sepanjang Perang Dunia 1.

Itulah mengapa Great Ocean Road yang melintasi pesisir selatan Australia ini juga kerap disebut sebagai jalan terpanjang dunia dalam simbol peringatan akibat perang.

Ya, itulah, beberapa tahun terakhir, saya punya sebuah keinginan kecil bisa dapat melakukan touring bersama kawan baik itu.

Dan hari itu akhirnya tiba, tidak lama, tidak jauh, tapi cukup untuk melepas rasa penasaran serta berbagi cerita di antara udara dingin di kawasan Puncak yang cukup menusuk.

Hari itu kawasan Puncak pun terasa akhir pekan dan jauh dari momen pagebluk; orang-orang masih ramai berseliweran dimana cukup banyak yang tidak bermasker, parade kendaraan yang memacetkan ruas jalan, seolah pagebluk Covid-19 memang tidak sampai di dataran tinggi ini.

Merapal Aspal di Kawasan Puncak Bogor

X-Max kawanku itu tidak lagi standar. Ia pernah bercerita padaku, biaya up-grade-nya tembus di angka seratus juta, dan kapasitas mesinnya sudah meningkat jadi 400cc.

Kasat mata yang mudah terlihat adalah shock Ohlins di belakang, dan knalpot Akrapovic. Asumsiku juga ban dan perangkat pengereman pun sudah berubah.

Jadi tentu bukan soal yang mudah untuk membututinya. Selepas tempat bertemu di kawasan SPBU Shell di jalan Pajajaran – Kota Bogor, kubiarkan kawan baikku melaju lebih dulu sekalian untuk mengukur apakah aku bisa mengikutinya dengan si Bumblebee 155 VVA standar…

Asumsiku ternyata tepat, kawan baik ini memang seorang penyuka touring sejati, ritme lajunya masuk kategori speed touring. Cepat, tapi terhitung smooth dan tetap mengedepankan faktor safety.

Kalau ada hanya mengandalkan betotan gas yang spontan, tentu si Bumblebee 155 VVA standar ini pasti ketinggalan. Maka strateginya adalah ngurut bukaan gas dan mainin mekanisme pengereman yang telat (late braking).

Memang harus ada yang dikorbankan, tapi setidaknya bukan mesin dan CVT, tapi yang itu tadi; sistem pengereman yang dipaksa kerja lebih ekstra dibanding biasanya.

Memasuki kawasan Puncak yang penuh tikungan meliuk, tantangan klasik pun menanti yaitu masuk dan keluar tikungan secara cepat, biar tidak begitu kehilangan momentum kecepatan yang sudah ada. Bakalan lebih kedodoran soalnya kalau tidak melakukan speed cornering.

Persoalannya kinerja ban belakang standar IRC di Bumblebee 155 VVA, serta shock belakang yang standar juga tidak cukup mendukung untuk melakukan teknik menikung seperti itu.

Kenapa? Karena grip ban belakang standar bawaan 155 VVA cenderung agak licin, plus, jarak main suspensi standar tentu tidak se-adjustable suspensi Ohlins di XMax di depan yang banderol harganya bisa tembus di angka sepuluh juta rupiah.

Alhasil, ada setidaknya tiga kali laju motor di tikungan seperti mengalami gejala understeer dan mau ngeloyor lurus, tapi bukannya sok jago; jam terbang dan pengalaman bermotor keluar kota sudah saya lakoni sejak awal tahun 1990an.

Kuncinya adalah mengenal karakter motor, sehingga unsur manusia yang mengendarainya juga sangat berperan penting untuk melakukan penyesuaian pada kondisi-kondisi tertentu, seperti saat saya melalui tikungan dengan gejala understeer seperti di kawasan tikungan Puncak – Bogor.

Belum lagi beberapa ruas jalan di tikungan Puncak tidak sepenuhnya mulus, ada beberapa titik di tikungan yang bumpy dan bergelombang, sehingga pas kena di titik seperti itu, rebound suspensi standar kurang bekerja baik dan akibatnya buritan motor terasa agak terbang dan kehilangan keseimbangan.

Sekali lagi, faktor mengenal karakter motor dan kemampuan menguasai keadaan berdasarkan jam terbang, memberikan perang cukup penting untuk bisa melalui tantangan melalui tikungan dengan baik.

Hasilnya, laju si Bumblebee 155 VVA masih bisa mengikuti XMax 400cc di depan mata, kecuali waktu sekali terganjal kemacetan di kawasan pasar Cisarua, motor kawan baik itu putus dari pandangan mata, tapi itu bukan karena semata kemampuan laju yang terpaut jauh.

Ya, sederhananya, pesan kelas secangkir kopi yang bisa dibagi dari perjalanan short speed touring ini adalah kenalilah karakter kendaraanmu saat perjalanan keluar kota, sehingga pada titik-titik tertentu dimana motor butuh faktor penyesuaian dari manusia pengendaranya, faktor penyelamat berkendara itu bisa dilakukan atau dikeluarkan.

Apa yang dipercakapkan?

Hmm, layaknya perjalanan touring bermotor yang umumnya menghibur dan bisa mengeluarkan banyak endapan kekisruhan di pikiran dan rasa, semua perbincangan yang sekadar sepele tentang hidup pun jadi terkesan lebih bermakna.

Tapi obrolan kami tentu lebih dari sekadar sepele, kawan baikku ini pernah menduduki posisi penting nomor satu baik di perusahaan otomotif roda empat ataupun roda dua, penyuka nonton film dan menarik pesan yang ada di dalamnya, pembelajar tentang kehidupan dan religi yang lebih semesta.

Sehingga, setiap perbincangan pun bermakna, hingga tidak terasa waktu pagi telah berubah sore menjelang senja. Saatnya untuk meninggalkan kawasan rumah makan Alam Sunda di Cipanas yang rasa sambelnya gak seenak waktu-waktu terakhir aku mampir ke sana.

“Duluan saja, Pak Bro. Saya mesti membelikan oleh-oleh pesanan bini,” kataku.

Maka melajulah kawan baikku tersebut dengan kecepatan yang sama seperti sebelumnya, ritme speed touring seperti halnya waktu perjalanan berangkat.

Syukurlah, ternyata memang kecepatan rata-ratanya masih sama, jadi memang waktu berangkat tadi bukan sekedar voor. Si Bumblebee 155 VVA masih bisa mengekor hingga di sebuah SPBU menjelang kawasan penginapan Coolibah memang harus berhenti, indikator bensin tinggal dua bar dan harus segera diisi.

Masih tergiang, ajakan kawan baikku, “Next, kalau ada waktu, kita ke kampung kelahiran saya di Rangkas Bitung, tapi berangkatnya harus lebih pagi. Nanti ketemu di sekitar Daan Mogot saja.”

Assyiiiiiaaaaapppp

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: