jbkderry.com – Sebenarnya tema besar artikel ini pengen dibuat buat ikutan kompetisi menulis artikel yang diadakan Mitsubishi Indonesia, tapi entah dengan berbagai alasan akhirnya batal dibuat.
Hari ini, sore hari tepatnya Senin 24 Agustus 2020, karena batal sepedaan akhirnya dibuat sajalah.
Intinya, ada yang menarik mengenai perkembangan tantangan perusahaan otomotif di masa depan, khususnya untuk merangkul potensial konsumen generasi millenial (Gen-Y) dan generasi post-millenial (Gen-Z).
Di akhir tahun 2019 lalu, tepatnya pada bulan Desember 2019, Toyota melalui orang nomor satunya Akio Toyoda telah mengatakan perubahan arah bisnis perusahaan otomotif terbesar di Jepang itu menjadi perusahaan mobilitas, bukan lagi perusahaan otomotif.
Gak percaya? Silakan klik di sini buat lihat sumber artikelnya.
Bukan hanya Toyota yang sebenarnya mengalami kekhawatiran perubahan orientasi konsumen mengenai kebutuhan mobilitas di masa depan.
Pabrikan otomotif asal Korea Selatan, Hyundai pun demikian telah mengubah arah bisnisnya menjadi perusahaan penyedia mobilitas, bukan lagi semata perusahaan otomotif.
Gak percaya lagi? Silakan klik di sini buat lihat sumber artikelnya.
Apa yang sebenarnya terjadi? Mari bahas a la media kelas secangkir kopi
Sejak tahun 2018, lembaga analisis pasar otomotif dunia JATO telah mengemukakan perubahan arah pasar otomotif ke depan.
“Sejak tahun 2018, industri otomotif dunia telah menghadapi tantangan dari sebuah era baru,” kata Felipe Munoz, analis dari JATO.
Kalau masih gak percaya situasi ini memang benar terjadi, ini link artikelnya klik di sini.
Sip, meski hanya media kelas secangkir kopi jbkderry.com paling anti soal sebaran informasi hoax.
Kuy, masuk ke topik intinya, tentu saja a la media kelas secangkir kopi.
Coba deh masukkan kata kunci “where millennials spend money“, akan ketemu beberapa pandangan di antaranya…
Situs U.S.News pada 14 Juli 2020 lalu menurunkan sebuah artikel berjudul “A Look at How Millennials Spend Their Money“, dimana pada bagian teaser-nya disebutkan jika millenial lebih sedikit membelanjakan uangnya untuk membeli rumah dan mobil dibanding generasi sebelumnya.
Masih gak percaya lagi ini ada artikelnya, klik di sini buat lihat artikel aslinya.
Secara sederhana dari sudut pandang a la media kelas secangkir kopi jbkderry.com, generasi millenial dan post-millenial tidak lagi memandang mobil sebagai simbol pencapaian seperti halnya yang terjadi di kalangan generasi Baby Boomer dan generasi X.
Generasi millenial dan post-millenial memiliki standar-standar baru mengenai simbol pencapaian hidup dan arti kemapanan versi mereka.
Kedua generasi ini seperti “membangkang” untuk disamakan dengan generasi old-skool sebelum mereka.
Bagaimana nasib perusahaan otomotif ke depan?
Media kelas secangkir kopi jbkderry.com masih berpandangan kendaraan listrik bukanlah demand dari potensial konsumen di masa depan. Ini hanyalah semacam determinasi industri untuk mengarahkan pasar, namun nampaknya menemui tantangan yang tidak mudah jika tidak ingin dikatakan berat dan terjal.
Coba cek saja, data penjualan kendaraan-kendaraan listrik di Cina, Amerika Serikat, dan beberapa negara di Eropa, meski insentif menarik telah diberikan ternyata tidak cukup menstimulasi market untuk menggesernya menjadi sebuah trend baru.
Perusahaan-perusahaan otomotif di dunia menghadapi dua tantangan badai yang sangat besar dalam kurun waktu terakhir.
Setelah badai disrupsi yang semakin deras sejak tahun 2018, di tahun 2020 ini bukan rahasia lagi datang badai yang tekanan memporak-porandakannya lebih besar lagi. Ya, apalagi kalau bukan pagebluk bernama Covid-19. Bahkan pasar supercar pun yang disebut kelas “para sultan” pun dibuat porak-poranda.
Artikel soal pasar supercar di tengah pegebluk ini sudah pernah diulas di media kelas secangkir kopi ini beberapa waktu lalu, NGOBROLIN PASAR SUPERCAR DI TENGAH PANDEMI COVID-19.
Sederhananya, perusahaan otomotif seperti halnya Toyota dan Hyundai akan semakin berpikir keras untuk tetap dapat bereksistensi, dengan cara-cara yang tidak lagi lazim dan memberikan unsur-unsur kejutan ke konsumennya.
Bisa jadi sebagai penyedia kendaraan individual yang bisa terbang atau jalan sendiri sepenuhnya (autonomous vehicle), atau penyedia kendaraan untuk kaum disabel dan manula, atau sebagai produsen kendaraan khusus untuk masyarakat di sebuah wilayah tertentu.
Pokoknya unsur kejutannya bisa jadi mengagetkan, lebih dari sekadar kendaraan listrik atau tenaga hidrogen.
Bagaimana dengan kansnya di Indonesia?
Indonesia ini memang dapat dikatakan negara yang unik, bahkan rasanya pemerintahnya sendiri sulit untuk mendiagnosa framing masyarakatnya.
Literasi mengenai daya tahan masyarakat Indonesia terhadap badai disrupsi atau bahkan pagebluk bernama Covid-19 relatif cukup bisa didapatkan di mbah Google, ataupun secara pandangan mata awam.
Sektor UMKM atau bisa disebut pondasi ekonomi tradisional di Indonesia dari sumber di Google disebutkan masih ada 60 – 70 persen yang belum punya akses ke perbankan untuk stimulasi modal.
Seorang kawan jurnalis bidang ekonomi sempat mengutarakan ke media kelas secangkir kopi jbkderry.com pekan lalu, meski upaya stimulasi ekonomi dari pemerintah memang benar adanya, namun pihak BUMN yang dipercaya nampak malas untuk menelusuri pemberian stimulasi yang lebih tepat guna dan lebih tepat sasaran.
“BUMN yang dipercaya mengalokasikan dana, malah menggunakan database konsumen atau nasabah yang sudah ada, jadinya tidak tepat sasaran,” kata rekan jurnalis tersebut.
Tapi mari sudahi polemik yang ruwet di bidang itu, dan kembali ke topik utama artikel ini.
Pasar otomotif di Indonesia di masa depan, atau setidaknya hingga 10 – 15 tahun ke depan rasanya masih prospektif, mengingat perkembangan perubahan selera pasar khususnya di wilayah pinggiran kota dan wilayah kabupaten desa tidak sedrastis di negara-negara maju.
Artinya, selera pasar yang akan cenderung stagnan di situ-situ saja. Maksudnya bagaimana?
Ya, pasar terbesar yah mobil keluarga tiga baris kursi buat tujuh penumpang, dan bermesin maksimal 1.500cc.
Kok bisa gitu?
Selain unsur tradisi dan budaya yang menahun, mobil berkapasitas 1.500cc maksimal itu biaya perawatan dan biaya pajak tahunan kendaraannya masih masuk dalam kalkulasi orang Indonesia secara umum.
Di atas itu memang nyaman, tapi terhitung muahal dalam hal biaya perawatan, biaya bahan bakar, dan pajak tahunan.
Jadi meski badai disrupsi dan badai yang lebih dahsyat bernama pagebluk Covid-19 ini memporak-porandakan situasi ekonomi di beberapa negara maju, namun di Indonesia dengan segala keajaibannya, pasar otomotif di Indonesia nampaknya akan tetap berjalan.
Mungkin tidak lagi bisa melampaui masa-masa keemasan penjualan di tahun 2013 – 2014 yang bisa menembus angka 1,2 juta unit per tahun, namun saat kebijakan PSBB sudah resmi dicabut, maka ekonomi Indonesia akan menggeliat lagi dan demikian pula daya beli konsumen otomotifnya.
Gak percaya? Jangan heran, nanti kalau nanti dengar atau lihat langsung bahkan, ada konsumen yang beli Jaguar pakai duit yang dikarungin.
Di Indonesia? Iya, dimana lagi kalau bukan di sini, di negeri tanpa rumus inilah…