MELIHAT DAN MERESAPI WAJAH INDONESIA DARI PULAU LOMBOK

jbkderry.com – Artikel kelas secangkir kopi ini hanyalah semacam catatan perjalanan waktu diajak Mitsubishi Indonesia ke Lombok, 6 – 8 Februari 2020.

Meski selama 3 hari 2 malam, Derry Journey merekam memori tentang manusia Lombok dan budayanya dari balik kaca-kaca mobil, namun tetap ada perasaan senang bisa melihat sisi lain dari Indonesia yang memang lahir dari keanekaragaman.

Hari Pertama: Paling Suka Suasana Asthari Restaurant

Waktu diajak makan siang di Asthari Restaurant, benak Derry Journey langsung teringat suasana di Blue Heaven Restaurant di Bali yang jadi tempat syuting film “Eat, Pray, Love”.

Ya, suasananya takzim banget dengan pemandangan pantai nan indah. Bedanya kalau di Blue Heaven Restaurant bisa melihat Pantai Padang-Padang dari ketinggian, di Asthari Restaurant pemandangannya Pantai Kuta – Lombok.

Menjelang senja, berkesempatan melihat panorama perbukitan dan suasana alam di Pantai Seger, juga menjadi berkah tersendiri. Indonesia ini memang menyimpan pesona kekayaan alam yang memang sangat rupawan untuk jadi destinasi wisata berkelas dunia.

Suasana etnikal juga sangat terasa pas diajak nginap di Novotel – Lombok. Sangat kental aura etnis Lomboknya, sangat enak suasananya.

Di hari pertama ini, kesan perjalanannya lebih terasa aura mewahnya.

Hari Kedua: Meresapi Kehidupan Pedesaan di Kaki Gunung Rinjani

Di hari kedua, Derry Journey lebih banyak meresapi makna-makna hidup yang terlihat.

Beberapa pemotor di perjalanan nampak jalan dengan ritme yang stabil dengan kecepatan cenderung pelan (maks. 40 km/jam), seperti memberi isyarat jika tidak perlu buru-buru di wilayah ini, hidup tidak perlu dijalani dengan ketergesaan. Setidaknya itu isyarat yang Derry Journey tangkap.

Perjalanan menuju kaki Gunung Rinjani hingga ratusan kilometer yang ditempuh dalam beberapa jam, seakan mengirim pesan jika tidak ada kebahagiaan ataupun duka yang abadi di bumi manusia.

Lombok yang terkenal dengan panorama alamnya yang indah, setidaknya pada tahun 2018 dan 2019 lalu terkena bencana gempa bumi. Itulah juga yang kabarnya membuat jalanan menuju ke kaki Gunung Rinjani kini masih nampak baru, karena dapat disebut baru rampung diperbaiki.

Di satu titik yang kabarnya menjadi pusat gempa, seorang anggota panitia kegiatan menjelaskan melalui radio panggil, jika genteng-genteng rumah di kawasan tersebut juga nampak baru direnovasi dan mudah dilihat dari balik kaca mobil rombongan kami.

Terkadang kepikiran bagaimana manusia-manusia korban pasca gempa tersebut melanjutkan hidup, di tengah pergerakan dunia dengan ancaman disrupsinya yang makin masif. Bagaimana orang dewasanya kembalikan kepercayaan diri untuk menjalankan tanggungjawab menghidupi keluarganya, bagaimana anak-anak bisa kembali riang mengejar masa depan yang ceria, adakah hal-hal itu masih terbersit di benak mereka?!

Hari Ketiga: Pantai Senggigi dan Anak-Anak Perempuan yang Mendorong Sepeda

Melihat suasana di Pantai Senggigi dari kawasan belakang Holiday Resort di bawah langit yang mendung, juga seperti mengirim pesan jika keindahan pun bisa segera buyar karena badai ataupun hujan.

Masih kurang dari jam sembilan pagi waktu setempat, beberapa kapal kecil nelayan nampak melintas. Ya, selain indah, alam Indonesia pun subur di darat dan lautan dimana ikan serta kawan-kawannya siap ditangkap untuk mengisi perut para manusia di atas sana.

Perjalanan di hari terakhir ini dilanjutkan dengan naik bus menuju bandara, tidak lagi menyetir mobil-mobil baru Mitsubishi.

Ada pemandangan yang berbeda di sepanjang kawasan wisata Pantai Senggigi dari sudut pandang Derry Journey ketimbang kawasan wisata di pantai-pantai di Bali. Hal yang sekilas terlihat adalah misalnya di kedai kopi atau sebutlah kafe, tersedia mulai kelas atas untuk konsumen berduit, namun di beberapa titik ada warung biasa untuk mengakomodasi pelancong yang dananya terbatas tapi ingin merasakan suasana tamasya di kawasan pantai dan perbukitan.

Selepas dari situ, pemandangan yang Derry Journey suka adalah ketika melihat beberapa anak cewek dengan pakaian Pramuka (kira-kira usia 9 – 11 tahun) berjalan di pinggir jalan sambil menuntun sepeda, nampaknya baru pulang sekolah.

Rasanya sudah lama tidak lihat tradisi itu lagi di era modern ini, atau mungkin hanya sudah punah di sekitar lokasi kediaman Derry Journey. Ya, disrupsi memang siap menghancurkan banyak tatatan lama yang sudah berjalan mapan sekian lama, namun di sisi lain disrupsi tidak lantas menjadi solusi yang lebih baik.

Ada kalanya dengan bermotor kecepatan santai, ataupun tradisi anak-anak cewek bersepeda berjalan turun temurun, tetap bisa mengantarkan kesenangan. Ya, bukan kesenangan semata karena berhasil diserap perkembangan zaman, tapi lebih hakiki (bukan artifisial) kesenangan tentang bisa tetap riang gembira dan bersyukur dalam kesederhanaan hidup.

Tidak terasa sore pun makin menjelang di bumi Lombok, pertanda sang burung besi sudah siap mengantarkan Derry Journey kembali ke kediamannya yang sebenarnya.

Terima kasih, PT MMKSI atas undangan perjalanannya yang luar biasa ini di Pulau Lombok. Semoga semakin sukses segala rencana usaha baiknya.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: