NGOBROLIN NISSAN GRAND LIVINA (ARTIKEL KELAS SECANGKIR KOPI)

Ini dia si Putih yang temani kami selama 4 tahun (2013-2017).

jbkderry.com – Artikel kelas secangkir kopi ini dimulai dari masa Derry Journey masih jadi jurnalis dan meliput kedatangan Carlos Ghosn di kantor Nissan Motor Indonesia di MT. Haryono, Jakarta, sekitar tahun 2003 – 2005 (lupa persisnya).

Waktu itu Ghosn yang datang sebagai malaikat penyelamat Nissan dari kebangkrutan mengatakan di hadapan awak media, “Jika nanti penjualan Nissan di Indonesia sudah bisa tembus di atas 10.000 unit per tahun, kita pikirkanlah upaya untuk membuat pabrik manufaktur di sini.”

Selang beberapa tahun kemudian di tahun 2007, Nissan Grand Livina muncul sebagai sebuah asa baru Nissan di Indonesia. Sempat menjajal versi mesin 1.5L dalam kesempatan test drive, kayaknya kinerja suspensi belakang masih kurang enak dan kalau pedal gas (versi transmisi otomatis) dibejek habis, bagian belakang kendaraan kayak langsung ambles bin blezek.

Tidak lama kemudian ada pernyataan, kelemahan itu sudah diperbaiki. Di tahun 2009, ada seorang kawan baik yang membeli, dan beberapa kali Derry Journey berkesempatan dipinjamkan buat jalan-jalan bersama istri dan anak.

“Enak nih mobil, mana harganya hitungannya masih masuk dalam kemampuan daya beli mobil baru secara umum masyarakat kita, masih di bawah Rp 200 juta.”

Di akhir tahun 2012, waktu ada rezeki lebih akhirnya diputuskan membelinya, Nissan Grand Livina SV AT dari Nissan Depok. Dan tiba sekitar bulan Februari 2013, karena waktu itu katanya warna putih agak langka.

Dari tahun 2007 – 2013, Nissan Grand Livina nampaknya benar-benar mengalami masa jaya, hingga sebuah langkah blunder tiba di tahun 2014, setelah Nissan Motor Indonesia tergoda main di segmen politis LCGC bentukan Pemerintah, yang jika mengacu dari strategi pemerintah di India bisa dibilang gagal sejak awal.

Pasalnya sedari awal, ketika peraturan LCGC disahkan, para produsen langsung menawari iming-iming penambahan fitur standar yang membuat batas atas nilai jual kendaraan jadi tidak jelas. Kalau targetnya ingin membidik potensial konsumen dari sepeda motor ataupun mobil bekas, rasanya gap harga untuk memikat potensial konsumen agak kejauhan, karena sudah ada yang tembus di atas Rp 100 juta untuk versi teratas.

Sempat merasakan angin segar sesaat, Nissan lupa memperhitungkan nilai kekuatan brand Toyota, Daihatsu, dan Honda yang lebih dulu mapan di benak masyarakat pembeli mobil baru pemula.

Alhasil, Datsunnya kocar-kocir, sementara konsentrasi membesarkan Nissan yang baru dimulai sejak tahun 2007 langsung ambyar.

Nissan seolah lupa jika meski mereka adalah merek asal Jepang, tapi kekuatan nilai brand-nya di masyarakat secara umum belum sekuat Toyota, Honda, dan Daihatsu.

Toyota melalui Avanza dan Daihatsu melalui Xenia jelas lebih terpatri di benak masyarakat umum, ketimbang Nissan Grand Livina.

Konsentrasi yang pecah juga membuat pihak R&D Nissan kurang antisipatif dalam mengakomodasi perubahan selera konsumen, apalagi dengan munculnya rival-rival baru dengan model yang lebih anyar dan segar, seperti Honda Mobilio, Suzuki Ertiga, lalu menyusul sang kuda hitam Wuling Confero di tahun 2007 dengan iming-iming harga lebih murah dan kualitas bersaing.

Langkah bidak catur pihak R&D Nissan pun semakin terjepit. Sekedar menyegarkan ingatan, dari generasi 1 ke generasi kedua antara tahun 2007 hingga 2013, yang paling anyar dan nampak mata hanyalah perubahan grille.

Masuk ke generasi ketiga, di tengah gempuran Honda Mobilio dan Suzuki Ertiga, dan upaya menjaga ritme sama dua penguasa yakni Toyota Avanza dan Daihatsu Xenia, yang nampak mata kembali hanyalah perubahan desain lampu dan bonet alias kap mesin.

Nissan Grand Livina sekali lagi tentu bukan Toyota Avanza yang didukung kekuatan nilai brand yang lebih mapan, dengan penyegaran-penyegaran kecil seperti itu tentu di atas kertas akan sulit bersaing dengan para kompetitornya yang semakin ramai dan menawarkan nilai pesona yang lebih anyar dan segar.

Hingga di bulan Maret 2018, kembali hanya terjadi perubahan minor, hingga akhirnya tidak kuasa menyerah mengibarkan bendera putih. Di bulan Februari 2019, Nissan melakukan langkah rebadge Mitsubishi Xpander. Sebuah langkah yang tentu sangat riskan, jika melihat data fakta dan sejarah jika mobil-mobil rebadge tidak punya cerita sukses di Indonesia.

Simak saja Mazda VX-1 yang merebagde Suzuki Ertiga, Mitsubishi Maven yang kalah bersinar ketimbang Suzuki APV, ataupun Chevrolet Tavera yang gagal mengikuti sinar terang penjualan Isuzu Panther.

Di bulan Oktober 2019, kecenderungan fakta itu nampaknya mendekati kenyataan. Di saat Mitsubishi Xpander penjualannya bisa tembus 4.236 unit, Nissan Livina gak sampe 1/10nya, hanya 342 unit.

Hmm, kira-kira bagaimana pihak R&D Nissan bisa melakukan langkah strategis untuk mempertahankan eksistensinya di pasar otomotif Indonesia, syukur-syukur kalau bisa rebound, tapi bagaimana kalau kemudian menyusul Ford, Chevrolet, ataupun merek serumpunnya Datsun yang sudah memutuskan mengibarkan bendera putih di pasar otomotif Indonesia?

Semoga Nissan bisa menemukan cara untuk bisa tetap eksis di Indonesia. Terima kasih sudah menyempatkan waktu mampir, semoga ada manfaatnya.

Jaya terus, industri otomotif Indonesia.

Simak juga beberapa artikel mengenai Nissan Grand Livina yang pernah dipublikasikan di media kelas secangkir kopi ini…

ULASAN SECANGKIR KOPI MASA KEJAYAAN NISSAN DI INDONESIA TAHUN 2012

NGOBROLIN NISSAN LIVINA BARU 2019 #ARTIKELSECANGKIRKOPI

NISSAN PERKENALKAN GRAND LIVINA SPECIAL VERSION

 

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: