ULASAN SECANGKIR KOPI MASA KEJAYAAN NISSAN DI INDONESIA TAHUN 2012

Salah satu strategi terbaru Nissan Indonesia untuk bangkit lagi di tahun 2019 ini adalah melalui “Livinder” alias Livina rasa Xpander.

Jakarta – Masa tahun 2012 tentu akan diingat oleh pihak PT Nissan Motor Indonesia sebagai momen tahunan yang baik dalam hal penjualan sebagai APM.

Saat itu Nissan berhasil menduduki peringkat ke-6 nasional dalam hal penjualan terbanyak dengan angka penjualan 67.143 unit, hanya terpaut 2.117 unit di belakang Honda yang ada di posisi ke-5 dengan angka penjualan total 69.320 unit mobil (sumber data Kompas).

Setelah momen itu, penjualan kendaraan Nissan terus menurun, dan bisa dikatakan drastis. Berdasarkan data Gaikindo yang diulas di media GridOto.com, angka penjualan kendaraan Nissan di tahun 2018 hanya mencapai 6.885 unit dan melorot ke posisi 11 sebagai produsen kendaraan dengan penjualan tahunan terbanyak di Indonesia.

Angka penjualan ini juga terpaut jauh dari pendatang baru merek asal Cina, Wuling, yang mampu mendulang angka penjualan 17.002 unit dan berada di posisi ke-9 nasional.

Baru ketika digabung dengan data penjualan Datsun (merek kendaraan dari Nissan untuk segmen LCGC), angka penjualannya bisa di sedikit atas Wuling. Datsun yang ada di posisi ke-10 nasional pada tahun 2018, mendulang penjualan 10.433 unit, jadi kalau digabung kedua merek tersebut baru bisa mencapai angka penjualan 17.318 unit (atau unggul 316 unit dari Wuling).

Tapi hitung-hitungannya pun kembali berlanjut, jika mengacu model kendaraan yang diproduksi Nissan dan Datsun lebih banyak dibanding Wuling yang di tahun 2018 baru memasarkan Confero dan Cortez. Belum lagi jika membandingkan jumlah dealer Nissan yang lebih banyak dibanding Wuling.

Artinya secara hitung-hitungan matematika a la secangkir kopi, biaya produksi dan operasional Nissan jadi lebih besar dibanding Wuling. Oke, kita sudahi dulu urusan hitung-hitungannya sampai di sini, biar urusan jagoan matematika ditangani sama Jerome Polin anak Indonesia yang lagi dapat beasiswa kuliah di Jepang dan bercita jadi menteri pendidikan di Indonesia di masa depan.

Saatnya jbkderry.com membahas kenapa kendaraan Nissan jadi semakin kurang diminati di Indonesia? Artikel ini sekadar opini kelas secangkir kopi, jadi Anda bisa bebas menambahkan opini di kolom komentar di bawah jika punya tambahan data atau opini lain.

Sepengalaman founder jbkderry.com waktu pernah jadi cungpret (kacung kampret) di majalah Motor Trend Indonesia (majalah lisensi otomotif asal Amrik) di tahun 2003 – 2006, kendaraan Nissan itu terhitung enak dikemudikan.

Waktu itu, pernah membelah jalur pedalaman dan semi off-road bersama Nissan Frontier hingga ke pesisir wilayah Bandung. Pernah juga membawa Nissan Serena hingga ke wilayah Pangandaran. Dan sejauh ingatan, dua kendaraan itu sangat baik untuk dijadikan salah satu yang terbaik di segmennya masing-masing, yaitu di segmen double-cab dan MPV regular-size.

Di tahun 2013 hingga 2017, founder jbkderry.com juga sempat punya dan pakai Nissan Grand Livina SV AT, dan rasanya juga enak dikemudikan bahkan sempat di tahun 2014 dipakai ke Bali via jalur darat bersama istri dan anak-anak. Pengalaman pakai Nissan GL SV AT itu mobilnya enak, setir dan kinerja suspensinya enak, serta konsumsi BBMnya terhitung irit.

Lantas kenapa Nissan jadi jungkir balik di pasar otomotif nasional? Silakan sampaikan opini versi Anda di bawah di kolom komentar.

Dari observasi kelas secangkir kopi a la jbkderry.com, secara brand Nissan belum cukup kuat mengakar seperti brand asal Jepang lainnya, seperti Toyota, Honda dan Suzuki, bahkan juga dibandingkan dengan Mitsubishi kini.

Di tengah upaya membangun brand di tahun 2006 hingga tahun 2013 melalui Grand Livina, tiba-tiba di tahun 2014 Nissan Indonesia tergoda bermain di segmen LCGC melalui Datsun Go dan Go+ (5+2). Dari situ, masa sulit Nissan Indonesia nampaknya dimulai. Jika di tahun 2013, masih bisa jualan 61.119 unit, di tahun 2014 langsung turun drastis di angka 33.789 unit.

Jika mengacu pada data dan fakta itu, Nissan Indonesia nampaknya lengah menjaga fokus membangun brand Nissan, karena perhatiannya yang terpecah juga untuk membangun Datsun. Implikasinya pun dapat dilihat dengan distopnya penjualan beberapa produk unggulan seperti Evalia, March dan Juke di Indonesia. Sementara pamor tulang punggung penjualan Grand Livina pun semakin redup di tengah persaingan di segmen low MPV yang semakin keras.

Saat artikel ini dibuat, pucuk pimpinan Nissan di Indonesia pun beberapa kali dilakukan pergantian selama katakanlah lima tahun terakhir, dan kini melalui Isao Sekiguchi yang resmi menjabat sebagai Presiden Direktur PT Nissan Motor Indonesia (NMI) per 1 Desember 2018, asa untuk bangkit kembali di pasar industri kendaraan di tanah air coba dibangkitkan.

Meski tentu tidak mudah, jika melihat posisi kursi orang nomor satu di PT NMI cenderung “panas” selama 5 tahun terakhir. Sekiguchi sendiri menggantikan posisi Eeichi Koito yang baru menjabat sebagai Presdir PT NMI per 1 April 2017. Eeichi Koito menggantikan Antonio Zara yang menjabat Presdir PT NMI pada 1 April 2016. Lalu Antonio Zara sendiri menggantikan Steve Ardianto yang menjabat sebagai Presdir PT NMI sejak 1 Juli 2014.

Melalui Sekiguchi, harapan untuk bangkit kembali setidaknya hadir melalui dua produk terbaru yaitu Terra dan “Livinder” alias Livina rasa Xpander. Nissan Terra yang bermain di segmen SUV regular-size dengan model chassis ladder-on-frame alias sasis tangga langsung berhadapan dengan rival-rival berat seperti Toyota Fortuner, Mitsubishi Pajero Sport, Isuzu mu-X dan Chevrolet Trailblazer.

Sementara Nissan “Livinder” tentu akan langsung dibayang-bayangi oleh kesuksesan saudara kembarnya yang beda merek, Mitsubishi Xpander. Dan jika strategi ini sukses, ini juga menjadi warna baru di kancah industri otomotif nasional, jika mobil baru yang didandani ulang (rebadge) juga bisa sukses .

Sebelumnya Mazda VX-1 gagal mengikuti jejak kesuksesan Suzuki Ertiga, Mitsubishi Maven yang kalah bersinar ketimbang Suzuki APV, ataupun Chevrolet Tavera yang gagal mengikuti sinar terang penjualan Isuzu Panther.

Tantangan lain dari eksistensi Nissan di Indonesia adalah biaya perawatan kendaraan di bengkel resmi yang diasumsikan lebih mahal dibanding kompetitor, serta yang paling umum menjadi pertimbangan konsumen di Indonesia adalah harga jual kembali.

Kalau urusan layanan di bengkel resmi, selama 4 tahun menggunakan Nissan Grand Livina SV AT (2013 – 2017) biaya perawatan berkalanya masih terhitung masuk akal dan relatif secara umum terjangkau. Tapi kalau soal nilai jual kembali, founder jbkderry.com masih ingat di tahun 2016, si Nissan GL SV AT itu masih ada yang mau beli Rp 125 juta, eh, setahun kemudian di tahun 2017 mau jual Rp 115 juta saja sudah susah.

Kini saat artikel ini dibuat, Nissan GL SV AT sudah bisa didapatkan di bawah Rp 100 juta berdasarkan pengamatan di beberapa situs jual beli mobil bekas.

Awrait, itu saja dulu artikel khas secangkir kopi kali ini soal Nissan di Indonesia. Semoga ada manfaatnya, dan silakan berdiskusi di bawah jika ingin. Terima kasih telah menyempatkan waktu untuk mampir.

 

 

 

 

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: