
Beberapa waktu lalu, saya bertemu seorang teman yang bilang, “Jurnalis itu kan tugasnya sebatas ngompor-ngomporin.”
Saya pun tidak ingin mendebatnya. Sebagai graphic designer dan video editor, teman itu sudah lebih dari 10 tahun bekerja dengan para jurnalis.
Meski demikian saya cukup tercengang dengan pandangannya. Saya jadi teringat dengan perdebatan seorang teman yang sangat tercerahkan mulai jaman kuliah hingga kini.
Teman debatnya pun cukup berkelas yaitu bekas kakak kelasnya sendiri jaman kuliah S1 yang saat ini menjabat sebagai redaktur pelaksana di salah satu portal berita terbesar di negeri ini.
Perdebatan keduanya soal vaksin palsu yang tengah menjadi salah satu isu hangat di publik.
Teman tercerahkan yang merupakan salah satu blogger kondang negeri ini turut menyebarkan foto viral pasangan suami istri yang diduga menjadi salah satu oknum utama penyebaran virus palsu.
Sang mantan kakak kelas serta merta protes di dinding jejaring sosial milik teman yang tercerahkan tadi. Intinya sang redpel menghimbau pada mantan adik kelasnya itu untuk tidak melakukan viral informasi yang belum bisa dipastikan kebenarannya.
Ia khawatir, pasangan suami istri itu hanya korban informasi yang tidak akurat di jejaring sosial.
Teman yang tercerahkan kemudian menimpali, jika informasi itu juga telah dibahas menjadi beberapa artikel berita di portal berita terbesar, tempat mantan redpel itu pernah bekerja juga.
Buat saya perdebatan keduanya bukan domain saya untuk menentukan salah benar. Soalnya level wawasan keduanya, jujur, jauh di atas saya.
Tapi keunikan pertama yang saya tangkap, untuk kesekian kalinya media massa terbesar di negeri ini mengambil intisari berita dari jejaring sosial.
Pertanyaannya kemudian, “Masihkah jurnalis hari ini bisa menjadi lokomotif informasi yang akurat?”
Saya tiba-tiba coba berandai-andai, “Apa sih pengertian peran jurnalis hari ini?”
Kalau jurnalis masih memposisikan diri sebagai garda depan penyampai informasi pencerahan publik, nyatanya peran ini mulai pupus. Mungkin perlahan tapi pasti.
Terlebih semakin banyak perdebatan di kalangan civil journalism (katakanlah dibaca “blogger”) dan para pengguna jejaring sosial yang meragukan independensi media dari tekanan para penguasa politik negeri ini.
Saya tiba-tiba ingat pula hal lain saat bertemu salah satu manajer PR dan timnya dari salah satu merek mobil paling terkemuka di negeri ini.
“Kami sempat bertanya-tanya seberapa banyak orang yang masih membaca koran hari ini? Mungkin saja tinggal bos-bos di kalangan industri,” katanya.
Saya lalu ingat kepingan pesan yang lain dari informasi viral dari seorang direktur salah satu perusahaan pameran terdepan di negeri ini. Ia mantan jurnalis, pemred pula.
Dalam pesan tersebut dikatakan semakin banyak media berita online di luar negeri yang tutup, karena gagal menjalankan roda bisnisnya.
Para media buying sudah banyak yang beranggapan (katanya lho), jika placement iklan di media massa tidak lagi berdampak besar untuk memperkuat nilai merek, apalagi menstimulus kenaikan angka penjualan.
Wah, jika ini benar, jangan-jangan memang peran jurnalis memang sudah mati, atau malah sudah beralih peran.
Jangan-jangan publik lebih suka informasi yang disampaikan Isyana Saraswati atau Raisa Andriana. Buat penggemar berita politik lebih suka informasi yang disajikan Jonru atau Tommi Lebang.
Buat yang suka pencerahan segala lini informasi, mungkin lebih suka kunjungi blog timur-angin.com yang dikelola M. Yusran Darmawan.
Lalu apakah jurnalis akan sungguh-sungguh mati? Bisa saja “iya”, pun bisa jadi “tidak, dan kembali melawan”.
Di era 3.0 yang semakin datar atau horizontal, segala kemungkinan masih bisa terjadi dan bahkan mungkin bisa lebih seru ditonton dibanding duel el clasico Real Madrid vs Barcelona.
Bogor, 30 Juni 2016
Salam kenal Pak Derry
“Matinya” para jurnalis dan media mainstream mungkin belum akan terjadi dalam waktu dekat. Adanya sejumlah media yang mengembangkan media online dan juga membuat media komunitas berbasis blog mungkin menjadi pertanda sangat jelas bahwa media mainstream pun sudah sangat menyadari ancaman kepunahan mereka.
Siap, Salam kenal juga, Pak Fakhrurroji Hasan.
Terima kasih atas respon dan perspektifnya.