Personal branding, Anda juga mungkin makin sering mendengar istilah ini. Saya coba menafsirkannya sebagai citra diri yang menunjukkan kelebihan dan sisi positif pada seseorang. Jika harus dipersingkat, personal branding seperti merek dagang yang melekat pada tiap individu.
Jika demikian, pertanyaannya adalah selalu “Siapa saya?”, karena dari kacamata personal branding aset terbesar dalam perkembangan karir bahkan bisnis adalah individu itu sendiri. Continue reading “Personal Branding: Lonte jadi Battousai”
Kapal Ferry yang melayani penyeberangan Ketapang – Gilimanuk.
Sekitar 19 tahun kemudian, aku akhirnya bisa kembali berada ke Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi . Hari itu tanggal 26 Desember 2014. Sempat ada kekhawatiran terjadi antrian panjang mengingat tinggal beberapa hari jelang puncak pergantian tahun. Syukur, hal itu tidak terjadi.
Waktu masih sekitar pukul delapan pagi di Pelabuhan Ketapang, saat ada sedikit antrian menuju pintu loket pembayaran. Hanya beberapa menit saja, hingga seruan petugas melalui lubang di kaca loket terdengar, “Seratus lima puluh ribu.”
Keputusan kami melarikan diri dari kepenatan dan rutinitas hidup, dengan menempuh jarak hingga ribuan kilometer ke Pulau Dewata merupakan keputusan tepat. Segala bentuk wisata alam yang indah terhampar telanjang di sini. Laksana lukisan alam yang dapat disentuh dan dirasakan secara nyata sedemikian indah. Gunung, pantai, hutan hingga danau. Semuanya dijamin bisa membuat manusia yang berhati bisa lebih mensyukuri nikmat kehidupan.
Di rumah makan ini terakhir kali kami makan di Bali di tahun 2014, sebelum tiba di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi pada sore harinya.
Menjejakkan kaki di Pulau Dewata sebagai wisatawan muslim menjadi tantangan tersendiri. Bukan rahasia lagi, jika mayoritas masyarakat Bali yang beragama Hindu menghalalkan babi untuk dimakan. Makanan dari hewan potong yang mestinya dihalalkan pun tidak serta merta sah. Bisa saja ayam atau sapi yang disembelih tidak memenuhi kaidah Islami.
Repot yah menjadi seorang muslim? Enggak juga sih, tergantung cara melihat dan menikmatinya. Dalam liburan keluarga kami kali ini, memang tidak serta aman dari makanan haram. Hari pertama 26 Desember 2014, kami makan nasi goreng di penginapan. Ada sedikit kekhawatiran saat memakannya, karena ada irisan daging sosis di dalam. Sempat ada perasaan ingin bertanya pada peramu makanan di penginapan, tapi perasaan tidak enak juga mengemuka. Kami baru saja tiba sore itu, rasanya kurang sopan untuk bertanya. Aku putuskan berbaik sangka saja. Bismillah.
Di Pandawa Beach. Oka dengan gaya khasnya, jari telunjuk tangan kanan di kepala, dan Rasy yang lebih suka cuek pas difoto.
Selepas waktu Magrib, kami bersiap menyusuri jalan di Denpasar. Salah satu tujuannya adalah Krisna, pusat oleh – oleh khas Bali yang ada di Sunset Road. Dengan asumsi yang menggampangkan pasti sampai di tujuan, kami berjalan “buta” tanpa peta. Alhasil kami tersesat dengan sukses. Alih – alih menemukan Krisna, jalan pulang pun aku lupa. Ternyata tidak mudah beradaptasi dengan situasi jalan di Denpasar. Terlalu banyak belokan, serta umumnya jalan yang ada tidaklah lebar, hanya cukup untuk dua mobil. Plus, diperparah dengan kemacetan.
Misi di hari pertama pun dipastikan gagal, dan persoalan di malam itu belumlah selesai. Untuk dapat kembali ke penginapan, kami beberapa kali tersesat dan aku jadi rajin turun untuk bertanya. Setelah sekitar lebih dari sejam berputar – putar tidak karuan di jalan, akhirnya kami dapat juga kembali ke penginapan.