Politik Bukanlah Satu – Satunya Warna Negeri Ini

government buildingSeorang kenalan menyebut, jika tidak memilih merupakan sebuah tindakan pengecut. Lalu kenapa harus golput?

Sebelum menjawab, saya ingin menarik garis sejenak ke belakang. Kesempatan memilih itu adalah hak sebagai warga negara, dan bukan kewajiban. Itulah mengapa disebut sebagai hak suara. Namanya juga hak, bisa dipakai, bisa pula tidak.

Sebagian ungkapan di media sosial juga menyebut, jika orang – orang yang memilih golput disebut tidak boleh mengeluh selama lima tahun ke depan! Baiklah kalau begitu, cuma terbersit sebuah pertanyaan bagi para pemilih, “Kemana Anda mau mengeluh, caranya dan prosedurnya bagaimana nanti jika Anda ternyata dikecewakan?”

Seorang teman di FB bilang, “Di Bundaran HI!” (dengan kata lain “demonstrasi”).

Hasil Quick Count

Berdasarkan data Quick Count yang banyak dirilis kemarin (9/4), ada sekitar 24,7 % orang yang punya hak pilih dan memilih golput di hari pemilihan legislatif kemarin. Saya satu di antaranya. Konon kabarnya di hari yang sama, para nelayan di Pacitan dan para petani di Jombang memilih untuk menjalankan rutinitas pekerjaannya masing – masing daripada menggunakan hak pilih di TPS.

Nelayan bilang, “Kalau kami gak kerja nangkep ikan, kami kasih makan apa anak – anak kami?!”

Petani bilang, “Nanti kalau sudah terpilih juga sudah pada lupa, jadi mending kerja.”

Angka 24,7 % golput ini juga menunjukkan fakta, jika angka golput lebih tinggi dari angka pemilih partai pemenang yang “hanya” mendulang angka persentasi pemilih pada kisaran 19 persen.

Kenapa Saya Golput

Ada beberapa alasan saya kembali memilih golput, setelah pernah sekali menggunakannya dulu dan sangat menyesal. Di antaranya…

(1) Selama ini begitu banyak sikap para orang – orang terhormat di legislatif dan eksekutif di negeri ini yang telah mengecewakan rakyat sedemikian tingginya.

(2) Saat diberi kepercayaan tidak amanah dan lupa pada pemilihnya, apalagi rakyat secara makro.

(3) Politisi tidak bisa mengklaim diri sebagai satu – satunya entitas yang memberi warna pada pergerakan dan kemajuan bangsa dan negeri ini.

(4) Tanda cinta pada negeri tercinta ini tentu tidak hanya dibuktikan ketika memilih politisi legislatif dan eksekutif.

(5) Golput yang diserukan oleh Arief Budiman dan kawan – kawan pada tahun 1971 adalah bentuk kekecewaan pada politisi dan penyelenggara negara pada saat itu. Dan gerakan moral ini berjalan sampai sekarang.

Potret Politik Legislatif 2014

Fakta dari proses pemilih legislatif kemarin menunjukkan, jika tidak satu pun partai yang bisa mengusung capres dan cawapres, tanpa dukungan partai lain. Alasannya sederhana, tidak ada yang memenangi angka persentasi pemilih di atas 20 %.

Saya sendiri tidak tertarik dengan angka persentasi minimal tersebut, biarlah yang ini diurus sama yang berkompoten di bidang politik.

Sebaliknya sebagai penggemar film action thriller, saya justru tertarik dengan kisah – kisah perjuangan para petinggi partai, dan kemana mereka akan bergerak kemudian.

Ada kisah pemilik tiga stasiun televisi yang berjalan bersama seorang jenderal. Keduanya menjadi yang pertama dengan percaya diri mendeklarasikan diri sebagai calon presiden dan wakil presiden.

Faktanya, tandem ini pada pemilu legislatif kemarin hanya berhasil mendulang angka persentasi pemilih lima persen lebih. Pupus sudah meski sudah didukung gebyar – gebyar kuis berhadiah di layar kaca. Pertarungan ke babak kedua seraya hampir mustahil dengan komposisi strategi yang sama.

Lain lagi seorang anak petinggi partai yang marah – marah, karena kandidat seteru ayahnya mejeng di bisnis website milik keluarganya. Arogansi pun muncul dengan cukup kasar seolah negeri ini masih diisi orang – orang tanpa nalar dan kecerdasan. Untungnya partai pimpinan sang ayah masih bisa finish sebagai runner -up. 

Yang paling malang tentu kisah mantan gubernur dan bekas menteri. Suara pemilih partai mereka hanya di bawah dua persen, sekaligus menjadi penegas stigma, “Anda boleh cerdas dan pintar, tapi rasanya kini menjadi sia – sia, karena bukti kecintaan orang Indonesia pada Anda ternyata sangat rendah. Sederhananya, orang Indonesia belum atau tidak membutuhkan Anda sebagai penyelenggara negara.”

Sebagai penonton yang tidak boleh menggerutu, saya tertarik melihat kelanjutan serial ini. Soal kemana setir sang partai penguasa selama dekade terakhir ini akan digerakkan? Mungkinkah dia cukup bernyali menjadi opisisi di tengah lantunan musik mellow dan gerakan slow motion?

Lalu siapa akan digandeng sama si ceking dan “ibunya”? Siapa yang akan diajak oleh si pencetus lumpur? Siapa pula yang akan ditarik jadi penumpang di kapal perang sang jenderal duda?

Ketegangan film action trailler ini tentu belum berakhir di situ. Para pemeran pembantu punya bagian adegan yang tidak kalah pentingnya dalam bangunan cerita.

Akan kemana sang menteri yang terancam dipecat di partainya? Akan kemana setir partai meroket di pemilu legislatif setelah menggandeng maestro danggut? Akan kemana partai oportunis berbasis agama melaju kali ini? Kemana gerak setir partai sang besan?

Sekali lagi menurutku ini hanyalah bak sebuah alur film di sebuah theater. Selama film diputar, sebagai penonton, saya mengaku tertarik mengikuti, mengamati, mengkritisi jalannya cerita. Protes saya juga tidak akan terlempar kemana – mana. Setelah film selesai, saya akan beranjak keluar dari theater dan melanjutkan hidup dengan segala pertempuran dan warna di ruang yang saya pilih.

Matahari, pelangi, atau mimpi akan alunan suling Sunda yang khas, di tengah kemapanan ekonomi, di antara deretan sawah yang menghijau, serta langit biru, tentu tidak hanya mengendap dan menanti di ruang politik untuk digapai. Mimpi ini tersimpan dengan baik di ruang kehidupan masa depan tanpa kata “politik”.

Dalam kacamata saya yang sederhana, politik hanyalah representasi sebuah entitas warna. Masih banyak warna lain yang dapat ditempuh untuk turut menggerakkan dan memberi warna negeri ini.

Selamat berjuang di ruang kehidupan masing – masing, kawan! Semoga bermanfaat…

 

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: