Entah bagaimana aku harus mengingatmu melalui kata, saudaraku. Persaudaraan di jalanan di bumi Makassar bukanlah diumbar melalui kata, tapi melalui sikap dan perbuatan, “Sakitmu sakitku dan demikian pula sebaliknya!” Dan ketika engkau berpamitan “pulang” duluan tepat sebulan lalu, 2 September 2011, aku merasa sangat sedih dan sunyi.
Sepenggal pernyataan kawan kita Yusran pun aku modifikasi sedikit untuk melukiskan rasaku. “Aku merasa sebagian diriku ikut pergi.”
Kala ayahku pergi, aku sedih karena merasa belum jadi anak yang baik dan berbakti. Kala anakku yang kedua keguguran, aku sedih dan sempat murka pada Allah SWT. Ujarku kala itu, “Ya Allah, mengapa engkau merenggut anakku, apakah aku belum pantas menjadi orang tua yang baik untuknya!”
Kala momen kedua itu, aku sedih, marah, gusar, dan akhirnya ikhlas. Dan ketika kabar “kepulanganmu” wahai saudaraku sampai di telingaku tepat sebulan lalu, aku merasa sebagian diriku ikut pergi seperti kata Yusran. Aku tiba-tiba merasa lebih ikhlas menjalani hidup dan konsekuensinya. Kau telah mengajarku untuk lebih lapang, aku rasa ini pesan dan pembelajaran terakhirmu untukku, saudaraku.
Pabuaran, Tiga Oktober 2011
Memoriku berangkat ke masa prosesi opspek. Kala itu aku belum tercerahkan, kepalan tangan dan tendangan adalah jalan keluar menyelesaikan masalah. Meski tidak tiap hari aku menjadi lelaki petarung, terkadang rasa gentar bahkan takut pun datang menjangkiti, tapi tidak untuk mengendap selamanya dan menjadi paradigma. “Aku laki-laki dan harus berkelahi!”
Suatu waktu, aku berteriak di taman belakang gedung FIS VIII kampus, tempat kita menjalani prosesi penyiksaan dari para manusia yang lebih dahulu beratribut anggota Kosmik. “Woi, siapa yang ambil bajuku, telaso!” teriakku lantang.
Dan seketika suara lainnya tak kalah lantang juga berseru tegas. “Kenapa memang, telaso?!” teriakmu saat itu.
Laksana dua ayam jago, kita langsung ingin saling melompati satu sama lain, sebelum teman-teman seangkatan datang melerai. “Janganlah, ini khan masih opspek!” entah siapa yang berseru kala itu meredakan percikan api di hati dan kepalan tangan kita.
Pertarungan pun tertunda.
Hari Terakhir Prosesi Opspek
Entah tanggal berapa dan hari apa saat itu, yang jelas prosesi opspek biadab itu akhirnya selesai. Aku hanya terdiam termangu seorang diri di antara ratusan mahasiswa baru yang bergembira telah melalui sesi penyambutan tersebut.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara singkat. “Woi!” ternyata suara itu berasal darimu.
Aku pun bersiap menyambut urusan yang belum tuntas beberapa hari yang lalu. “Lanjut?” ungkapku menantang.
“Sudahlah, tidak usah. Kita berkawan saja. Kenalkan, Suwardi, tapi panggil saja Igor,” ujarmu mengulurkan tangan.
Meski masih mendidih, aku sambut uluran tanganmu.
Masa Awal Kuliah
(Memoriku kurang mampu mengingat detailnya).
Samar aku ingat aku sempat “buron”, karena terlibat perkelahian dengan mahasiswa dari fakultas lain. Dalam masa burunon awal kuliah itu, aku sering meminjam tas ransel hijaumu untuk kabur dari kelas. Hubungan yang unik, karena sesungguhnya perang dingin denganmu masih ada, kawan.
Entah berapa banyak minuman keras, drugs, dan mungkin juga bogem akibat perkelahian yang telah merusak memori di kepalaku, tapi saat itu hidup masih belum tercerahkan. Jalanku masih sama, berkelahi, mabuk, dan judi.
Seingatku hingga semester tiga, kau masih berusaha menjadi kawanku. Aku rasa momentum persaudaraan kita mulai terjadi kala engkau memukul adik dari salah satu preman yang paling ditakuti di kampus. Dan lompatan memoriku pun melayang pada suara pistol aparat meletus di pasar Sentral. Makassar gelap gulita selama beberapa hari. Seingatku, itu kali terakhir aku lihat Makassar bernyali. Iring-iringan aparat dengan kendaraan dan senjatanya tidak menyurutkan “siri’” yang sudah terlajur tersinggung.
“Turun di sini saja, dek,” ungkap supir pete-pete pada kami berdua.
“Di depan lagi, pak,” ungkapku agak menghardik, sementara kau terdiam.
Tiba-tiba suara letusan pistol kedua meletus. “Di sini maki saja turun, dek. Saya takut, masih mauka’ hidup,” supir angkot itu kembali bersuara, setelah mobil berjalan beberapa meter, pelan.
Aku pun memakluminya, dan kita berjalan melintasi massa “amuk Makassar”. Target kita malam itu, mencari rumah sang preman dan minta maaf, meski nyawa taruhannya.
Sayang tidak seorang pun yang bersedia memberikan informasi. Setelah itu, kita terus bersama hingga akhir masa-masa kuliah. Aku merasa menjadi orang pertama yang selalu mendukung kesuksesanmu, termasuk ketika berhasil menjadi ketua Kosmik dan menyisihkan teman-teman kita yang lebih favorit.
Sepanjang masa kuliah, aku merasa kau sahabat terdekatku. Aku akan selalu berada di belakangmu, jika ada yang menyetuhmu. Tidak hanya dalam kekerasan kita bersahabat dan bersaudara. Kita pernah menempuh lumpur yang sama di jalanan pasar menuju rumah nenekmu. Kita pernah berbagi makanan dan tempat tidur. Kita berbagi untung di acara bursa buku dulu. Kau pula yang pertama kali memaksaku membaca buku-buku karya Soe Hok Gie. Dari preman picisan hingga momen pencerahan sebagai aktivis pernah kita lalui bersama, saudaraku. Tidak heran, begitu banyak alur keterkaitan diriku denganmu selama masa transisi.
Tanpa sadar aku telah banyak bertransaksi pelajaran hidup denganmu tanpa kata. Maka ketika kau pergi, aku sepakat sebagian diriku juga telah ikut pergi. Aku tahu kini apa yang telah pergi bersamaku, api dan semangat kecintaan pada hidup. Kepergianmu membuatku seraya telah turut menjejakkan kaki di alam selanjutnya. Mudah-mudahan aku tetap seberani engkau sahabat, kala panggilan yang sama itu telah tiba sebagai giliranku…
I love you, Igor. You are my best brother, that’s it…