Entah bagaimana aku harus mengingatmu melalui kata, saudaraku. Persaudaraan di jalanan di bumi Makassar bukanlah diumbar melalui kata, tapi melalui sikap dan perbuatan, “Sakitmu sakitku dan demikian pula sebaliknya!” Dan ketika engkau berpamitan “pulang” duluan tepat sebulan lalu, 2 September 2011, aku merasa sangat sedih dan sunyi.
Sepenggal pernyataan kawan kita Yusran pun aku modifikasi sedikit untuk melukiskan rasaku. “Aku merasa sebagian diriku ikut pergi.”
Kala ayahku pergi, aku sedih karena merasa belum jadi anak yang baik dan berbakti. Kala anakku yang kedua keguguran, aku sedih dan sempat murka pada Allah SWT. Ujarku kala itu, “Ya Allah, mengapa engkau merenggut anakku, apakah aku belum pantas menjadi orang tua yang baik untuknya!”
Kala momen kedua itu, aku sedih, marah, gusar, dan akhirnya ikhlas. Dan ketika kabar “kepulanganmu” wahai saudaraku sampai di telingaku tepat sebulan lalu, aku merasa sebagian diriku ikut pergi seperti kata Yusran. Aku tiba-tiba merasa lebih ikhlas menjalani hidup dan konsekuensinya. Kau telah mengajarku untuk lebih lapang, aku rasa ini pesan dan pembelajaran terakhirmu untukku, saudaraku. Continue reading “Memoar of Igor”