Jakarta, oh, Jakarta!

Kemacetan Jakarta dan kota-kota penyangga di sekitarnya (BodetaJakartabek) seperti menjadi ilustrasi psikologis masyarakatnya. Makin sesaknya kendaraan yang berebutan ruas jalan, membuat logika dan rasa saling pengertian menjadi makin tereduksi. Rasa sabar yang berlebih dibutuhkan, agar persinggungan emosi di antara pengguna jalan dapat diredam.

Bayangkan saja, jika tiap tahunnya ada sekitar ratusan ribu mobil baru dan jutaan motor baru yang menambah sesaknya ruas jalan yang ada. Sementara penambahan ruas jalan oleh Pemerintah sangatlah tidak sebanding. Bisa dibayangkan penatnya kita menjalani rutinitas keseharian.

Situasi jalan yang membuat para pengguna jalan berpikir keras diserta kesabaran ekstra, agar bisa berkendara dengan selamat, telah cukup menyita energi. Persoalan pun belum tuntas. Setibanya di tempat kerja, sistem kerja di perusahaan-perusahaan makin ketat dan tinggi. Otomatis para staf yang berada di dalamnya dituntut agar terus mampu menghadirkan performa kerja yang diharapkan pihak manajemen.

Apakah ini lalu berimplikasi dengan penghasilan? Rasanya tidak bisa terlalu diharapkan. Tingkat kompetisi yang tinggi dengan hasil kerja yang kompetitif dan komparatif, bahkan kalau bisa di atas rata-rata menjadi keharusan atau obligasi yang harus dipenuhi. Continue reading “Jakarta, oh, Jakarta!”